Hari 1: Jakarta Menuju Alor
Tiket Batavia 2013
E-ticket ini adalah tiket yang seharusnya membawa saya ke Alor tahun 2013 lalu. Tetapi ternyata jauh panggang dari api, Batavia Air bangkrut, tiket hangus dan uang yang sudah dibayar dibawa kabur pihak yang tidak bertanggung jawab *ceritanya sekalian curhat. Kemudian datanglah beberapa tahun kemudian, melalui jatah cuti yang bersisa satu hari, dan akan segera kadaluarsa, pembelian impulsif sebuah tiket pergi pulang Jakarta – Alor dengan harga yang lumayan murah untuk ukuran liburan long weekend Imlek.
Pukul 1/2 4 pagi saya sudah berangkat dari rumah menuju bandara, thanks to Uber perjalanan menuju menjadi sangat mudah dan murah, bahkan untuk jam-jam yang tidak biasa tersebut. Pukul 05.00, pesawat Lion Air JT690 membawa saya menuju Kupang dengan transit sekitar 45 menit di Surabaya, dan tiba di Bandara El Tari Kupang pukul 10.00 WITA. Oh iya, ketika transit di Surabaya Ovie, teman seperjalanan saya menggunakan pesawat yang sama menuju Kupang. Pukul 12.15, kami melanjutkan perjalanan menuju Bandara Mali, Pulau Alor menggunakan Wings Air JT1931. Perjalanan menuju Alor sekitar 1 jam. Ada kajadian yang menurut saya agak aneh di Bandara Mali, ketika Wings Air taxing menuju apron atau pelataran bandara, di sana ada pesawat Trigana Air yang parkirnya agak sembarangan sehingga pesawat kami tidak bisa masuk, dan tertahan di pesawat sekitar 20 menit. Padahal, jika posisi parkir pesawat Trigana Air tepat, maka akan dengan mudahnya Wings Air bisa masuk.
Trigana Air di Apron, dan Wings Air harus standby
Bandara Mali
Pukul 13.30, akhirnya kami bisa turun dari pesawat. Senang bisa kembali menjelajah bagian lain negeri ini. Bandara Mali, bandara yang sangat sederhana di bagian timur pulau Alor. Dari sini kami sudah dijemput oleh mobil yang diarranged oleh Ida. Ida, pemudi Alor yang sangat antusias terhadap wisata Alor dan sangat ramah menyambut kami di Hotel Melati, Kota Kalabahi. Kota Kalabahi adalah kota utama di Pulau Alor, dan jujur saja saya agak kaget, ternyata kota di pulau ini sudah sangat lengkap dan ramai. Akses telekomunikasi pun sangat mudah, sinyal Telkomsel sudah terpancar dengan 3Gnya. Dan karena hari itu turun hujan, akhirnya kami hanya santai-santai saja di seputaran penginapan, dan membahas rencana untuk 3 hari kedepan.
Hari 2: Pantai Bakel dan Pantai Ling’al
Sabtu pagi, sambil menunggu angkutan yang akan membawa kami ke Pelabuhan Alor Kecil, kami sarapan nasi kuning di dekat penginapan. Angkutan umum di Alor lumayan banyak, tetapi jarang yang beroperasi sampai sore atau malam. Dari Kota Kalabahi, perjalanan menuju Alor Kecil sekitar 30 menit. Di sana sudah menunggu kawan-kawan dari Kota Kalabahi yang akan berbagi kapal menuju Pantai Bakel dan Pantai Ling’al. Menurut Ida, kedua pantai ini wajib dikunjungi di Alor, karena selain pemandangannya yang indah, pantai ini masih masih sangat bersih dan tidak ramai. Sambil menunggu kapal tiba, saya menikmati pelabuhan Alor Kecil yang sangat cantik. Dengan pemandangan pulau-pulau kecil yang tersebar dan laut bening dengan ikan warna-warni bermain di sekitar dermaga.
Beningnya Pelabuhan Alor Kecil
Di Pelabuhan Alor Kecil. Latar Belakang Pulau Kepa.
Perjalanan dari Alor Kecil menuju tujuan pertama kami yaitu Pantai Bakel sekitar 60 menit, dengan kapal yang bisa memuat 10 sampai 15 orang. Perjalanan menuju Pantai Bakel sangat menyenangkan, karena di bagian kiri kapal kita bisa melihat bukit-bukit hijau yang menurut saya sangat fotojenik, mirip ketika kita berlayar di kepulauan Komodo. Tiba di Pantai Bakel, kami berjalan menuju bukit savana hijau untuk melihat pantai Bakel dari atas, sekaligus menikmati hamparan hijau yang sangat luas. Kami sangat beruntung, hari itu cuaca cerah, dan dikarenakan sudah masuk musim penghujan maka hamparan rumput sudah terlihat sangat hijau. View paling oke mungkin ada di salah satu bukit di savana ini, tetapi saya dan Ovie merasa sudah cukup dan memang saat itu pantai Bakel sangat panas, membuat kami ingin buru-buru mencari pohon di pantai dan ngadem hehe. Sementara kawan-kawan lokal Alor terlihat sangat menikmati matahari dan sangat asyik berfoto ria di atas bukit.
Savana Pantai Bakel
Savana Pantai Bakel
Pantai Bakel
Puas di Pantai Bakel, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Ling’al. Perjalanan dari Pantai Bakel menuju Ling’al sekitar 30 menit dengan view yang hampir mirip… bukit-bukit menghijau di sepanjang perjalanan. Ternyata memang benar seperti yang dibilang Ida, Pantai Ling’al benar sangat indah. Lautnya bening sekali, dengan pasir putih yang lembut seperti tepung.
Sebelum mulai mengeksplor pantai Ling’al, kami menikmati makan siang yang sudah dibawa dari Alor Kecil. Kebetulan di sana sudah ada bale-bale bambu untuk berteduh. Ya, makan siang kami saat ini ditemani view pantai luas dengan pasir putih. Jadi makin lahap (ya karena laper juga sih hehe). Kelar makan siang, kami diajak trekking untuk melihat pantai dari atas. Tidak lama untuk menuju puncak bukit, hanya sekitar 15 menit. Dari atas, kita bisa menyaksikan keindahan pantai dengan jangkauan yang lebih luas. Dari sini, terlihat lengkungan Pantai Ling’al yang cantik.
Pantai Ling’al
Pantai Ling’al
Bersama Ida (kain ikat hijau terang) dan kawan-kawan Alor
Setelah puas menikmati pantai, dan pemandangan dari atas bukit, rasanya masih ada yang kurang, berenang! Di sisi kanan pantai, ada gundukan karang yang sangat indah untuk diselami. Sekitar 10 meter dari bibir pantai, kita bisa menikmati soft coral warna warni, dengan ikan-ikan karang yang lucu. Di sini, arus pantai terlindungi sehingga tidak harus susah payah menahan gelombang pantai, apalagi arus laut. Aah nikmatnya panas-panas begini bisa nyebur di laut hehe..
Underwater Ling’al
Underwater Ling’al
Tidak terasa sudah pukul 16.00, kapten kapal meminta kami untuk segera bergegas menuju Alor Kecil. Karena menurut beliau, jelang malam ombak akan mulai meninggi. Tiba di Alor Kecil, saya dan Ovie berpisah dengan rombongan, karena malam ini kami akan menginap di Pulau Kepa. Diantar oleh Ida dan beberapa kawan, kami menuju Pulau Kepa yang jaraknya hanya selemparan batu dari Dermaga Alor Kecil, tidak sampai 10 menit. Tapi jangan salah, walaupun hanya dekat saja, arus laut di sini sangat kencang. Sehingga sangat tidak disarankan untuk berenang dari Alor Kecil ke Kepa.
Di Pulau Kepa, kami menginap di homestay Tata Bull. Pak Rahmat si empunya homestay sangat senang bercerita, sangat bersemangat dan sangat antusias dengan kami, atau mungkin dengan semua tamunya. Oiya, awalnya saya tidak tahu ada homestay ini, karena menurut hasil browsing yang selalu muncul adalah La P’tite Kepa dan dua resort lainnya. Dan dikarenakan saat itu adalah low season di Alor, semua penginapan di pulau Kepa tutup kecuali homestay punya Pak Rahmat. Harga menginap di sini dihitung per kepala, yaitu 200 ribu dan sudah termasuk makan 3x, dan bebas minum kopi dan teh. Karena sudah terlalu lelah, saya tidur awal malam itu. Sehingga besok pagi bisa jadi lebih fresh untuk hoping islands dan snorkeling.
Hari 3: Pulau Kepa & Snorkeling
Sebelum memulai aktifitas di laut, kami berjalan-jalan di seputaran pulau Kepa. Melihat suasana La P’tite Kepa dan pantai di belakang. Tidak salah memang banyak turis yang menginap di La P’tite Kepa, karena suasana penginapan yang dimiliki warga Negara Perancis ini sangatlah nyaman. Kamar-kamar ala vila dan restoran dibuat mirip dengan rumah tradisional Alor. Pengunjung juga bisa sekedar santai di lopo lopo yang luas atau minum di restoran yang terlindung pohon rimbun. Setelah sarapan roti dan kopi, kami menuju lokasi snorkeling pertama, depan gereja di Pulau Ternate. Pulau Ternate di sini beda lho dengan Pulau Ternate di Maluku sana, hehe.
Kalau boleh dibilang, lokasi ini adalah lokasi snorkeling paling bagus selama saya berada di Alor. Soft koral yang luar biasa banyak dan warna warni, ikan-ikan karang seliweran sana sini, dan juga nemo yang tidak terhitung jumlahnya. Airnya memang lumayan dingin, tetapi kalau sudah menyesuaikan maka tidak akan terasa walau sudah berenang hampir 1 jam! Iya satu jam.
Puas berenang di sini, kami diajak kapten kapal menuju desa penenun di Pulau Ternate. Literally memang desa tenun, karena semua wanita di sini hampir menjadi penenun, dan bekerja di depan rumahnya masing-masing, membuat kain warna-warni. Beberapa penenun di sini juga langsung menjual kainnya, akan tetapi kebanyakan dari mereka sudah langsung membawa hasil tenun ke Pulau Alor, sehingga untuk yang mau beli oleh-oleh khas Alor bisa langsung membeli kain-kain ini di Pasar Kadelang di kota Kalabahi.
Tenun Ternate
Hari semakin siang, Pulau Ternate menjadi sangat panas. Kami memutuskan untuk kembali ke laut untuk kembali berenang. Perhentian selanjutnya adalah Sebanjar. Di point Sebanjar arus lautnya lumayan kencang, dan saat ini ikan-ikan tidak terlalu banyak, kami hanya sebentar di sini untuk kemudian pindah ke spot tidak jauh dari situ.
Bubu. Perangkap ikan tradisional yang banyak digunakan nelayan di Pulau Ternate
Dari sini, kapten kapal bercerita kalau di Pulau Kepa sendiri bawah lautnya sangat indah, tetapi saat ini arus laut sedang kencang. Kemudian cerita pun berlanjut, beliau bercerita tentang seseorang yang hilang di laut sana. Hmmm.
Sudah pukul 1 siang, dan perut sudah sangat lapar… Kami memutuskan untuk kembali ke Pulau Kepa. Di sini makan siang sudah siap, Ibu Rahmat menyiapkan kami nasi kuning dan ikan bakar yang nikmat. Kelar makan siang, kami pamit ke Pak Rahmat untuk kembali ke Alor Kecil. Dari dermaga, kami menggunakan angkot menuju Alor Besar untuk melihat Al Qur’an tua. Al Qur’an ini dibawa ke Alor besar sekitar tahun 1519 oleh Iang Gogo dari Ternate di Maluku Utara. Al Qur’an yang berisi lengkap 30 juz dan 114 surat ini terbuat dari kulit kayu dan ketika dibuka mengeluarkan aroma wangi.
Qur’an tua
Tiba kembali di Kota Kalabahi, kami menginap di Homestay Cantik. Homestay Cantik berada tidak persis di tengah kota, sehingga perlu kendaraan untuk sekedar mencari makan. Dan kami menyewa motor seharga 75rb untuk 24 jam. Malam terakhir di Kota Kalabahi, kami mencoba Restoran Mama yang lokasinya dekat dengan Pasar Kadelang dan posisinya tepat di pinggir laut. Resto yang sangat pas untuk bersantai dan menikmati Alor. Kalau di sini, jangan lupa mencoba menu andalan mereka yaitu Ikan Kuah Kuning. Tambahan tips, agar tiba di sini sebelum malam, karena ketika malam apalagi malam minggu tamu yang datang akan banyak, sehingga berimbas ke waktu persiapan makanan.
Hari 4: Desa Adat Takpala
Hari terakhir di Alor, pagi hari kami berkunjung ke Desa Tradisional Takpala, desa yang berada di sebelah barat Pulau Alor. Untuk jarak, dari homestay ke Desa Takpala kurang lebih 20 menit menggunakan sepeda motor. Pagi hari tiba di sini masih sangat nyaman, belum ada tamu yang datang, dan penduduk desa kecil ini masih sibuk bersiap menyambut tamu, menata hasil kerajinan tangan untuk dijual. Desa ini didiami oleh suku Abui, suku terbesar di Alor. Selain menikmati suasana desa tradisional, di sini pengunjung seperti saya juga bisa mencoba kostum tradisional mereka. Saya pikir kostum pria lebih simple dari wanita, ternyata saya salah. Kostum pria dilengkapi berbagai aksesoris berburu dan berperang, dan juga tempat sirih. Sedangkan pada wanita hanya kalung dan tempat sirih. Selain Takpala, di Alor ada beberapa desa tradisional lainnya, tetapi Takpala yang paling mudah digapai dari kota Kalabahi untuk pengunjung yang punya waktu terbatas seperti saya
Sebelum pulang menuju Jakarta, kami berburu kain tenun di Pasar Kadelang. Dan jika beruntung bisa ditemukan beberapa kain yang menggunakan pewarna alami yang sangat jarang. Dan kalau mengikuti kemauan, rasanya 4 hari di Alor sangatlah kurang… Tetapi pastinya 4 hari di Alor sangatlah berkesan, sampai muncul tulisan ini. Terima kasih untuk Alor
Penjual Souvenir Takpala
Desa Adat Takpala
Desa Adat Takpala
*kalau ada teman-teman yang mau berkunjung ke Alor, mau eksplor pulau sekitar Alor: Pantar, Pura, Ternate dan lainnya, mau trip memancing bisa contact Ida: